Utama

Kronologi Lengkap Terungkapnya Kode 7 Batang dalam Kasus Jatah Preman Gubernur Riau

×

Kronologi Lengkap Terungkapnya Kode 7 Batang dalam Kasus Jatah Preman Gubernur Riau

Sebarkan artikel ini

MATARIAU.COM – Siang itu, suasana di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, terasa lebih sibuk dari biasanya, Rabu (5/11/2025).

Di balik sorotan kamera dan suara wartawan yang bersahutan, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengambil mikrofon dan memulai pernyataannya.

“KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Pemerintah Provinsi Riau,” ujarnya tegas.

Nama yang disebut pertama membuat ruang konferensi pers seketika hening adalah Gubernur Riau Abdul Wahid.

Dua nama lain menyusul yaitu Muhammad Arif Setiawan, Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, dan Dani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur.

Mereka bertiga kini tidur di balik jeruji besi karena diduga menjadi otak di balik praktik setoran haram yang oleh kalangan internal PUPR disebut “jatah preman.”

  • Awal Mula: Dari Laporan Warga ke Mata KPK

Kisah ini bermula bukan dari operasi besar, melainkan dari laporan masyarakat yang masuk ke meja KPK.

Mei 2025, penyidik menerima informasi mencurigakan bahwa ada pertemuan gelap di sebuah kafe di Pekanbaru.

Dalam pertemuan itu, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda duduk bersama enam Kepala UPT Wilayah I–VI.

Topiknya bukan sekadar proyek jalan dan jembatan, tetapi soal “fee” setoran wajib untuk sang gubernur agar proyek infrastruktur berjalan mulus.

“Awalnya disepakati 2,5 persen dari tambahan anggaran 2025 yang melonjak dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar,” ungkap Johanis.

Tapi rupanya, angka itu belum cukup. Ketika laporan pertemuan sampai ke telinga Kepala Dinas PUPR-PKPP, Muhammad Arif Setiawan, ia menyalurkan pesan baru dari sang gubernur fee dinaikkan jadi 5 persen, atau sekitar Rp7 miliar.

Baca Juga  Begini Kronologi Tabrak Lari Maut di Jalan Siak II Pekanbaru

Ancaman pun muncul. Bagi siapa pun yang menolak, ancamannya mutasi atau pencopotan.

Sejak saat itu, istilah baru beredar di lingkungan dinas: “jatah preman.”

  • Kode 7 Batang

Dalam dunia para pejabat itu, angka Rp7 miliar tak disebut langsung. Mereka menggantinya dengan istilah “7 batang” sebuah kode yang hanya dipahami orang-orang tertentu.

Di bawah kode itulah, praktik pengumpulan uang mulai berjalan.

Juni 2025, Ferry Yunanda bertugas sebagai pengepul. Dari para Kepala UPT, ia berhasil mengumpulkan Rp1,6 miliar.

Uang itu dibagi sesuai instruksi yaitu Rp1 miliar dikirim untuk Abdul Wahid lewat Dani M. Nursalam, sisanya Rp600 juta untuk kerabat Arif.

Setoran berikutnya terjadi pada Agustus, total Rp1,2 miliar. Uang itu sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadi dan urusan internal dinas.

Hingga November 2025, jumlah dana yang terkumpul sudah Rp4,05 miliar, lebih dari separuh target.

  • Operasi Senyap

Senin sore, 3 November 2025, tim KPK memulai operasi senyap. Mereka telah mengantongi cukup bukti komunikasi, aliran dana, dan daftar nama.

Saat uang Rp800 juta hendak diserahkan, Muhammad Arif Setiawan, Ferry Yunanda, dan lima Kepala UPT ditangkap di Pekanbaru.

Beberapa jam kemudian, tim lain bergerak. Gubernur Riau Abdul Wahid diduga tengah bersembunyi ironisnya, juga di sebuah kafe.

“Tim berhasil mengamankan AW bersama orang kepercayaannya, Tata Maulana,” kata Johanis.

Tak berhenti di situ. Penggeledahan di rumah pribadi Abdul Wahid di Jakarta Selatan membuahkan hasil 9.000 poundsterling dan 3.000 dolar AS, senilai sekitar Rp800 juta.

Baca Juga  Kejati Riau Kawal Kasus Narkoba Bripka AS, Dua Jaksa Ditunjuk

Total uang yang disita dari operasi itu mencapai Rp1,6 miliar.

  • Dani M. Nursalam: Dari Buron ke Tahanan

Di saat dua rekannya sudah digiring ke Jakarta, Dani M. Nursalam sempat menghilang.

Namun keesokan harinya, Selasa sore (4/11/2025), ia datang sendiri ke Gedung Merah Putih KPK.

Dengan wajah tegang, ia langsung diperiksa intensif dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Kini ketiganya resmi mendekam di balik jeruji.

Abdul Wahid di Rutan ACLC KPK, sementara Arif dan Dani di Rutan Gedung Merah Putih.

Penahanan dilakukan untuk 20 hari pertama, hingga 23 November 2025.

KPK menjerat ketiganya dengan Pasal 12e, 12f, dan 12B UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Di penghujung konferensi pers, Johanis menegaskan pesan moral di balik kasus ini.

“Sinergi masyarakat dan aparat kepolisian di Riau sangat berarti. Pemberantasan korupsi bukan hanya tugas KPK, tapi kerja bersama seluruh elemen bangsa,” ujarnya.

Johanis menutup pernyataannya dengan nada tegas, namun penuh peringatan.

“Kasus ini harus menjadi cermin bagi seluruh penyelenggara negara. Jabatan adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri.”

Dan demikianlah, dari sebuah laporan warga dan percakapan di kafe, terbongkarlah skema setoran miliaran rupiah yang menyeret seorang gubernur.

Kisah nyata tentang bagaimana “7 batang” bisa menumbangkan kekuasaan di Riau. Saat ini kasus itu terus berproses dan menunggu peradilan untuk pembuktian.(*)