PEKANBARU – Seorang pengacara di Kota Pekanbaru, Afriadi Andika melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Presiden Republik Indonesia, Kapolri, Kejaksaan Agung, Komisi III DPR RI, Kapolda Riau, hingga Kejati Riau.
Langkah itu ditempuh demi membela kliennya, seorang warga berinisial AI, yang merasa dirugikan dalam kasus sengketa lahan akibat dugaan maladministrasi Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru.
Menurut Andika, AI adalah pemilik sah sebidang tanah beserta rumah di Jalan Pias, Gang Pias III No. 004 RW 008, Kelurahan Tangkerang Barat, Kecamatan Marpoyan Damai.
Lahan seluas 300 meter persegi tersebut dikuasai sejak 1999 berdasarkan Surat Keterangan Ganti Rugi Nomor 593/48/TB/1999 setelah mengganti rugi kepada pemilik pertama, almarhum Y.P, senilai Rp2 juta.
“Tanah itu diperoleh klien kami secara sah dan sudah dikuasai lebih dari 25 tahun tanpa ada persoalan hukum. Baru pada saat pengajuan sertifikat, masalah ini muncul,” kata Andika.
Persoalan timbul ketika AI mengajukan permohonan sporadik untuk peningkatan status lahan menjadi sertifikat pada 24 Juli 2025.
Pihak kelurahan justru menyebut, di atas tanah tersebut sudah terbit sertifikat hak milik (SHM).
Hasil pengecekan melalui aplikasi Sentuh Tanahku menunjukkan lahan AI masuk ke bidang tanah seluas 12.535 meter persegi dengan NIB: 04737, yang berasal dari SHM Nomor 927 atas nama MAK, terbit tahun 1982 di Kampar, lalu berubah menjadi SHM Nomor 2398 pada 2008 setelah wilayah masuk administrasi Pekanbaru.
Andika menilai penerbitan sertifikat tersebut cacat hukum.
“Peta bidang tidak sesuai dengan objek sebenarnya. Tanah klien kami berbeda dengan yang tercatat dalam sertifikat. Ini jelas error in objecto,” tegasnya.
Kuasa hukum AI juga menuding ada pelanggaran regulasi, mulai dari Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 hingga indikasi cacat administrasi yang dapat menjadi dasar pembatalan sertifikat sebagaimana diatur dalam Permen Agraria/BPN Nomor 9 Tahun 1999.
Ia pun mengacu pada sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung yang menguatkan bahwa penguasaan tanah puluhan tahun dengan itikad baik dapat menjadi dasar hak, sementara pihak yang membiarkan tanahnya dikuasai orang lain selama bertahun-tahun dianggap telah melepaskan haknya (rechtverwerking).
Andika mengungkapkan, pihaknya telah mengajukan permohonan hearing ke DPRD Kota Pekanbaru pada 15 September 2025. Namun, hingga kini belum ada kepastian hukum.
Bahkan surat tanggapan dari Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru pada 26 September 2025 disebut hanya mempertegas dugaan maladministrasi.
“Atas kondisi ini, kami meminta atensi khusus Presiden dan aparat penegak hukum agar perkara segera diproses secara transparan. Kasus ini harus disidangkan agar jelas duduk persoalannya, sekaligus memberi efek jera agar sengketa serupa tidak terulang,” pungkasnya.(*)