MATARIAU.COM- Pengacara Muflihun meminta Polda Riau Segera mencabut status sita dan menyerahkan aset kliennya, berdasarkan Amar putusan pada Rabu (17/09) di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Pengacara mantan Plt Sekretaris DPRD Riau, Muflihun, Ahmad Yusuf mengatakan pada Kamis (18/09), berdasarkan hasil putusan hakim, Penyitaan aset kliennya terkait dugaan kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif DPRD Riau periode 2020-2021, tidak sah dan batal demi hukum.
“Majelis hakim telah mengabulkan penyitaan berupa aset rumah di Pekanbaru dan Apartemen di Batam, tidak sah dilakukan penyitaan dan batal demi hukum,” Jelasnya.
Menurutnya, Muflihun tidak ada kaitannya dengan kasus SPPD fiktif yang tengah dilakukan penyidikan oleh penyidik Subdit III Direktorat Kriminal Khusus Polda Riau.
“Klien kami tidak ada kaitan dengan SPPD fiktif dan tidak ada kerugian negara pada intinya” Kata Ahmad Yusuf.
Dari putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru dikatakan Pengacara Muflihun, Meminta pihak kepolisian untuk segera mengembalikan aset dan menghapus status sita.
“Putusan ini meminta pihak kepolisian untuk dapat mengembalikan aset rumah dan apartemen di Batam dan menghapus status sita,” Ungkapnya.
Menanggapi hasil putusan, Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Anom Karibianto mengatakan, Pihaknya menghormati hasil putusan hakim Pengadilan Pekanbaru.
“Kita hormati keputusan hakim praperadil, kami akan pelajari terlebih dahulu pertimbangan hakim sehingga menerima gugatan penggugat setelah kami menerima risalah putusan,”Sebut Kombes Pol Anom Karibianto.
Ia juga mengatakan, Penyidikan kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif yang terjadi di lingkungan DPRD Riau pada periode 2020-2021, tetap berlanjut.
“Kalau Penyidikan tetap berjalan karena yang diterima gugatan oleh hakim praperadilan hanya terkait penyitaan aset 1 rumah di pku dan 1 apartemen di batam,” Ungkapnya.
Hingga kini, Polda Riau belum juga menetapkan siapa orang yang akan bertanggung jawab atas dugaan korupsi kasus SPPD fiktif di lingkungan DPRD Riau periode 2020-2021, yang disebut merugikan negara ratusan miliar rupiah.